Namaste
berasal dari 2 kata "Namah" yang artinya menunduk, hormat; dan
"Te" yang artinya padamu, merupakan cara yang lazim digunakan untuk
menyapa atau memberi salam di Asia Selatan. Namaste digunakan oleh multi-agama
dan lebih ditekankan pada representasi arti dari "Saya Menghormati
Anda". Ketika berbicara dengan orang lain, biasanya diikuti oleh gerakan
mencakupkan kedua tangan di depan dada.
Filosofi Namaste bagi saya pribadi lebih ke arah sifat diri yang rendah hati.
Sebuah ungkapan yang dengan sangat elegan memberi penghormatan kepada siapa
saja tanpa memandang atribut orang tersebut, apakah dia kaya, miskin, rupawan,
buruk, terhormat, hina, sehat, sakit, dsb. Mendalami filosofi Namaste,
mengajarkan saya untuk lebih mencintai semua ciptaan Tuhan. Tak akan ada niat
untuk menindas, membunuh, menfitnah, mencaci-maki, ataupun sekedar menggosipkan
orang lain di belakang. Tindakan-tindakan tersebut sangat melukai rasa
penghormatan saya kepada sesama. Dan otomatis mencederai rasa bakti kepada
Tuhan yang saya sembah.
Menghormati orang lain sama dengan menghormati diri sendiri. Karena sejatinya,
di dalam diri saya dan orang lain memiliki satu kesamaan yang agung. Yang Agung
inilah yang disebut dengan "Jiwa". Dan Jiwa inilah "cahaya"
Tuhan yang paling kecil yang berada di dalam diri kita yang harus kita berikan
penghormatan tertinggi. Namaste…!
Lambang Agama Hindu
Lambang atau simbul dalam keagamaan merupakan sarana
pengikat keyakinan umatnya untuk lebih mendekatkan hati dan perasaannya kepada
cita- cita hidup keagamaan, disebut juga Niyasa atau Murti Puja. Agama Hindu
mempergunakan Swastika sebagai lambang.
Adapun bentuk asli dari lambang SWASTIKA ialah dua garis
vertikal dan horisontal bersilang sama sisi, tegak lurus di tengah- tengah (+).Sebagai
kreasi seni budaya yang selalu berkembang, Swastika juga mengalami perkembangan
sehingga kemudian menjadi berbentuk :
Swastika menggambarkan keharmonisan perputaran alam
semesta dengan segala romantika, dinamika dan dialektikanya. Hal mana pada
hakekatnya menunjukkan kemahabesaran Sang Hyang Widhi Wasa selaku Maha
Pencipta. Kata Swastika berarti keselamatan atau kesejahteraan. Garis vertikal
menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan pencipta- Nya yaitu Sang Hyang
Widhi Wasa, sedangkan garis horisontal menunjukkan keharmonisan hubungan
manusia dengan sesamanya, termasuk hubungan manusia dengan alam.
Apabila hubungan manusia dengan penciptanya dan hubungan manusia dengan
lingkungannya terjalin dengan harmonis, maka manusia akan mendapatkan
keselamatan dan kesejahteraan. Keselamatan dan kesejahteraan adalah hakekat
tujuan agama. Keempat garis di ujung- ujung garis vertikal dan garis horisontal
menunjukkan arah perputaran Swastika, yaitu berputar ke arah kanan. Jadi
Swastika juga melukiskan gerak, yaitu gerak alam semesta yang berputar ke arah
kanan. Pada hakekatnya semua isi alam juga mengalami perputaran seperti angin,
air, dan sebagainya, untuk menimbulkan keharmonisan di alam ini.
Kitab Suci
Kitab suci agama Hindu disebut Weda. Adapun kata Weda ini
berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata "Wid" berkembang menjadi
kata WEDA atau WIDYA yang berarti pengetahuan. Sebagai kitab suci kata Weda
mengandung pengertian himpunan ilmu pengetahuan suci yang bersumber dari Sang
Hyang Widhi Wasa diterima atau didengar oleh para Maha Resi dalam keadaan
samadhi. Oleh karena itu disebut juga Sruti yang berarti Sabda suci yang
didengar (wahyu). Jadi Weda merupakan himpunan wahyu- wahyu Tuhan.
Weda Sruti yaitu Weda dalam bentuk himpunan wahyu
(Sruti), disebut juga Weda Samhita terdiri dari:
Kelompok Catur Weda:
- Rig Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Pulaha
- Yajur Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Waisampayana
- Sama Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Jaimini
- Atharwa Weda, Dihimpun oleh Maha Resi Sumantu
Pancamo Weda:
Weda Smrti yaitu tafsir dari Weda Sruti, disusun dengan
maksud mempermudah mempelajarinya, terdiri dari dua kelompok yaitu:
Kelompok Wedangga
- Siksa, Isinya tentang ilmu tentang phonetics
- Wyakarana, Isinya tentang ilmu tata bahasa
- Chanda, Isinya tentang pengetahuan tentang lagu
- Nirukta, Isinya tentang pengetahuan tentang sinonim dan
akronim
- Jyotisa, Isinya tentang ilmu astronomi
- Kalpa, Isinya tentang tentang ritual
Kelompok Upaweda
- Itihasa, Isinya tentang ceritera- ceritera kepahlawanan
(epos) terdiri dari Mahabarata dan Ramayana
- Purana, Isinya tentang himpunan ceritera- ceritera (mirip
sejarah) tentang peristiwa- peristiwa tertentu dan tentang tradisi.
- Arthasastra, Isinya tentang pengetahuan tentang
pemerintahan.
- Ayurweda, Isinya tentang ilmu obat- obatan.
- Gandarwa Weda, Isinya tentang ilmu tentang seni
- Sarasamuçcaya dan Slokantara , Isinya tentang etika dan
tata susila.
Resi / Maha Resi
Resi adalah orang yang atas usahanya melakukan tapa brata
yoga samadhi, memiliki kesucian, terpilih oleh Tuhan, dapat menghubungkan diri
dengan Tuhan, sehingga dengan kuasa- Nya dapat melihat hal yang sudah lampau,
sekarang, dan yang akan datang, serta dapat menerima wahyu (Sruti). Istilah
Resi sebenarnya tidak sama artinya dengan Pendeta, namun kadang- kadang
diartikan sama, seperti terdapat di beberapa daerah. Untuk membedakan
pengertian Resi sebagai Pendeta dan Resi sebagai Nabi, maka dipakailah istilah Maha
Resi untuk menyatakan Resi sebagai Nabi. Diantaranya:
Swayambhu, Bharadwaja, Wrhaspati, Krtyaya, Sandhyaya,
Agastya, Wasistha, Tridhatu, Gotama, Wajrasrawa, Grtsamada, Kanwa, Trinawindhu,
Aryadatta, Dharma, Wiswamitra, Narayana, Usana, Somayan, Parasara, Warmadewa,
Prajapati, Tryaguna, Rutsa, Byasa, Atri, Hiranyagarbha, Dhananjaya dan Sakri
Maha Resi Byasa beserta murid- muridnya terkenal karena
karyanya membukukan (kodifikasi) kitab- kitab Weda, sehingga terhimpunlah kitab
Catur Weda.
Avatara
Awatara adalah perwujudan Sang Hyang Widhi turun ke dunia
untuk karya penyelamatan terutama pada saat dharma mengalami tantangan dan
saat- saat adharma mulai merajalela. Bedanya dengan Maha Resi ialah bahwa
Awatara itu adalah perwujudan Hyang Widhi yang turun ke dunia, sedangkan Maha
Resi adalah manusia terpilih karena dapat meningkatkan jiwanya ke kesempurnaan
sehingga dapat menerima wahyu. Dalam Wisnu Purana dikenal sepuluh perwujudan
Sang Hyang Widhi Wasa dalam penyelamatan dunia ialah:
- Matsya Awatara, Ikan yang maha besar
- Kurma Awatara, Kura-kura (penyu) raksasa yang diceritakan
menopang semesta
- Waraha Awatara, Badak Agung
- Narasingha Awatara, manusia berkepala Singa, membunuh
Raja Hirania Kasipu sebagai tokoh Adharma saat itu.
- Wamana Awatara, Orang Kerdil yang membunuh Raja Bali
sebagai tokoh Adharma.
- Rama Parasu Awatara, Pandita yang selalu membawa kampak,
memberi kesadaran kepada para kesatria untuk mengendalikan Dharma atau
kepemimpinan dengan sebaik- baiknya.
- Rama Awatara, putra Prabu Dasarata guna membela dharma
melawan adharma yang dipimpin oleh Rawana yang pasukannya terbasmi.
- Krisna Awatara, sebagai putra Prabu Wasudewa dengan Dewi
Dewaki menghancurkan Raja Kangsa dan Jarasanda golongan adharma pada saat itu.
- Budha Awatara, sebagai putra Prabu Sudodana dengan Dewi
Maya bertugas menyadarkan umat manusia, agar bebas dari penderitaan melalui
jalan tengah di antara delapan cakram (putaran hidup).
- Kalki Awatara, penunggang kuda putih dengan membawa
pedang terhunus dan akan membasmi makhluk yang adharma. Awatara ini adalah yang
ke-10, Menurut keyakinan kita beliau akan datang nanti bila adharma sudah betul- betul
merajalela (pralaya - kiamat).
TIGA KERANGKA DASAR AGAMA HINDU
Ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang
dikenal dengan "Tiga Kerangka Dasar", di mana bagian yang satu dengan
lainnya saling isi mengisi dan merupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati
dan diamalkan guna mencapai tujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa.
Tiga Kerangka Dasar tersebut adalah:
- Tatwa
- Susila
- Upakara
TATWA
Sebenarnya agama Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran
yang sangat kokoh karena masuk akal dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran
yang hakiki di dalam Hindu diuraikan dalam ajaran filsafat yang disebut Tattwa.
Tattwa dalam agama Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui
beberapa cara dan pendekatan yang disebut Pramana.
TRI PRAMANA
Ada 3 (tiga) cara penyerapan
pokok yang disebut Tri Pramana.
Tri Pramana, "Tri" artinya tiga,
"Pramana" artinya jalan, cara, atau ukuran. Jadi Tri Pramana adalah
tiga jalan/ cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata maupun
abstrak. Dalam Wrhaspati Tattwa sloka 26 disebutkan:
Pratyaksanumanasca krtan tad wacanagamah
pramananitriwidamproktam tat samyajnanam uttamam. Ikang sang kahanan dening
pramana telu, ngaranya, pratyaksanumanagama.
Pratyaksa ngaranya katon kagamel. Anumana ngaranya
kadyangganing anon kukus ring kadohan, yata manganuhingganing apuy, yeka
Anumana ngaranya.
Agama ngaranya ikang aji inupapattyan desang guru, yeka
Agama ngaranya. Sang kinahanan dening pramana telu Pratyaksanumanagama, yata
sinagguh Samyajnana ngaranya.
Artinya:
Adapun orang yang dikatakan memiliki tiga cara untuk
mendapat pengetahuan yang disebut Pratyaksa, Anumana, dan Agama.
Pratyaksa namanya (karena) terlihat (dan) terpegang.
Anumana sebutannya sebagai melihat asap di tempat jauh, untuk membuktikan
kepastian (adanya) api, itulah disebut Anumana.
Agama disebut pengetahuan yang diberikan oleh para guru
(sarjana), itulah dikatakan Agama. Orang yang memiliki tiga cara untuk mendapat
pengetahuan Pratyaksa, Anumana, dan Agama, dinamakan Samyajnana (serba tahu).
Tri Premana meliputi:
- Agama Pramana adalah suatu ukuran atau cara yang dipakai
untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan mempercayai ucapan- ucapan kitab
suci, karena sering mendengar petuah- petuah dan ceritera para guru, Resi atau
orang- orang suci lainnya. Ceritera- ceritera itu dipercayai dan diyakini
karena kesucian batin dan keluhuran budi dari para Maha Resi itu. Apa yang
diucapkan atau diceriterakannya menjadi pengetahuan bagi pendengarnya.
Misalnya: Guru ilmu pengetahuan alam berceritera bahwa di angkasa luar banyak
planet- planet, sebagaimana juga bumi berbentuk bulat dan berputar. Setiap
murid percaya kepada apa yang diceriterakan gurunya, oleh karena itu tentang
planet dan bumi bulat serta berputar menjadi pengetahuan yang diyakini
kebenarannya, walaupun murid- murid tidak pernah membuktikannya. Demikianlah
umat Hindu meyakini Sang Hyang Widhi Wasa berdasarkan kepercayaan kepada ajaran
Weda, melalui penjelasan- penjelasan dari para Maha Resi atau guru- guru agama,
karena sebagai kitab suci agama Hindu memang mengajarkan tentang Tuhan itu
demikian.
- Anumana Pramana adalah cara atau ukuran untuk mengetahui
dan meyakini sesuatu dengan menggunakan perhitungan logis berdasarkan tanda-
tanda atau gejala- gejala yang dapat diamati. Dari tanda- tanda atau gejala-
gejala itu ditarik suatu kesimpulan tentang obyek yang diamati tadi. Cara
menarik kesimpulan adalah dengan dalil sebagai berikut: YATRA YATRA DHUMAH,
TATRA TATRA WAHNIH artinya Di mana ada asap di sana pasti ada api. Contoh: Seorang
dokter dalam merawat pasiennya selalu mulai dengan menanyakan keluhan- keluhan
yang dirasakan si pasien sebagai gejala- gejala dari penyakit yang diidapnya.
Dengan menganalisa keluhan- keluhan tadi dokter dapat menyimpulkan penyakit
pasiennya, sehingga mudah melakukan pengobatan. Demikian pula jika
memperhatikan keadaan dunia ini, maka banyak sekali ada gejala- gejala alam
yang teratur. Hal itu menurut logika kita hanya mungkin dapat terjadi apabila
ada yang mengaturnya.
- Pratyaksa Pramana adalah cara untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan cara
mengamati langsung terhadap sesuatu obyek, sehingga tidak ada yang perlu
diragukan tentang sesuatu itu selain hanya harus meyakini. Misalnya menyaksikan
atau melihat dengan mata kepala sendiri, kita jadi tahu dan yakin terhadap
suatu benda atau kejadian yang kita amati. Untuk dapat mengetahui serta
merasakan adanya Sang Hyang Widhi Wasa dengan pengamatan langsung haruslah
didasarkan atas kesucian batin yang tinggi dan kepekaan intuisi yang mekar
dengan pelaksanaan yoga samadhi yang sempurna.
Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian
manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang
menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu
disebut dengan sradha. Dalam Hindu, sradha disarikan menjadi 5 (lima) esensi,
disebut Panca Sradha.
PANCA SRADHA
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang
disebut dengan Panca sradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu.
Kelima keyakinan tersebut, yakni:
- Widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
segala aspeknya
- Atma Tattwa - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap
makhluk
- Karmaphala Tattwa - percaya dengan adanya hukum
sebab-akibat dalam setiap perbuatan
- Punarbhava Tattwa - percaya dengan adanya proses
kelahiran kembali (reinkarnasi)
- Moksa Tattwa - percaya bahwa kebahagiaan tertinggi
merupakan tujuan akhir manusia
Berbekal Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri
Pramana ini, perjalanan hidup seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti.
Ke arah kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan Moksa. Ada 4 (empat)
jalan yang bisa ditempuh, jalan itu disebut Catur Marga.
CATUR MARGA YOGA
Dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada Tuhan, ada
empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan
Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh
dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Empat jalan itu
disebut Catur Marga, yaitu:
- Yoga Marga / Raja Yoga : menuju pada kebenaran dengan
jalan disiplin tertentu dengan metode-metode Yoga. Raja Yoga Marga ialah suatu
jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa melalui pengabdian diri
kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu mulai berlangsung dan berakhir pada
konsentrasi. Dalam arti yang lebih luas yoga ini mengandung pengertian tentang
pengekangan diri. Dengan pengendalian diri yang ketat, tekun dalam yoga, maka
persatuan Atman dengan Brahman akan tercapai.
- Jnana Marga / Jnana Yoga : menuju persatuan dengan Tuhan
dengan cara terus menerus mempelajarinya. Jnana Marga ialah suatu jalan dan
usaha untuk mencapai jagadhita dan Moksa dengan mempergunakan kebijaksanaan
filsafat (Jnana). Di dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan dengan
kebijaksanaan itu, para arif bijaksana (Jnanin) melaksanakan dengan keinsyafan
bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersumber pada suatu sumber
alam, yang di dalam kitab suci Weda disebut Brahman atau Purusa. Di dalam
Upanishad dijelaskan bahwa Brahman atau Purusa adalah sebagai sumber unsur-
unsur rohani maupun jasmani semua makhluk dan sumber segala benda yang terdapat
di alam ini. Brahman sebagai sumber segala- galanya mempunyai kekuatan yang
dapat dikatakan hukum kodrat, atau sifatnya yang menyebabkan Brahman berubah
menjadi serba segala, rohaniah maupun jasmaniah (sekala- niskala). Menginsyafi
bahwa segala yang ada, rohani maupun jasmani, benda yang berwujud (Sthula)
maupun abstrak (suksma) bersumber pada Brahman, maka para bijaksana (Jnanin)
memandang bahwa semua benda jasmaniah (jasad) dan wujud rohani (alam pikiran
dan sebagainya) yang timbul dari Brahman adalah benda dan wujud yang bersifat
sementara (relatif). Hanya sumbernya yaitu Brahman (Siwa) Yang Maha Agung yang
sungguh- sungguh ada dan mutlak (absolut). Dengan kebijaksanaan (Jnana) mereka
dapat mencapai dharma yang memberikan kebahagiaan lahir batin dalam hidupnya
sekarang, di akhirat (Swarga) dan dalam penjelmaan yang akan datang (Swarga
Cyuta). Andaikata rahmat melimpah akhirnya mereka dapat menginjak alam Moksa
yaitu kebahagiaan yang kekal, yang menyebabkan roh (Atma) bebas dari
penjelmaan.
- Bhakti Marga / Bhakti Yoga : menyerahkan diri dengan tulus
kepada Tuhan sebagai seorang poenyembah yang penuh kecintaan. Bhakti Marga
adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan sujud bakti kepada
Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Tuhan Pelindung dan Pemelihara semua
makhluk, maka Tuhan akan menuntun seorang Bhakta, yakni orang yang cinta, bakti
dan sujud kepada- Nya untuk mencapai kesempurnaan. Dengan menambah dan berdoa
mohon perlindungan dan ampun atas dosa- dosanya yang pernah dilaksanakan serta
mengucap syukur atas perlindungannya, kian hari cinta baktinya kepada Tuhan
makin mendalam hingga Tuhan menampakkan diri (manifest) di hadapan Bhakta itu. Tuhan
memelihara dan melindungi orang yang beriman itu, supaya hidupnya tetap tenang
dan tenteram. Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin
menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas, seperti melaksanakan Tri Sandhya
yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan sore hari dan
bersembahyang hari suci lainnya.
- Karma Marga / Karma Yoga : menuju pembebasan dengan jalan
bekerja tanpa mengharapkan hasil. Karma Marga berarti jalan atau usaha untuk
mencapai Jagadhita dan Moksa dengan melakukan kebajikan, tiada terikat oleh
nafsu hendak mendapat hasilnya berupa kemasyhuran, kewibawaan, keuntungan, dan
sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal
kebajikan untuk kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk. Selain itu Karma
Marga berhampiran inti ajarannya dengan Bhakti Marga, yaitu mengarahkan segala
usaha, pengabdian kebijaksanaan, amal dan pengorbanan itu bukan dari dirinya
sendiri melainkan dari Tuhan.
Demikianlah tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit,
namun penuh kepastian. Istilah- istilah yang disebutkan di atas janganlah dianggap
sebagai dogma, karena dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu
yang telah disarikan dari sastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih
banyak lagi umat yang mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang
hakiki.
SUSILA
Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua
setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan
manusia sehari- hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan
lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang
bersangkutan. la akan memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola
hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap
simpatik yang memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.
Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk
mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung
kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi
manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.
Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila".
"Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti
perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik
terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan
lingkungannya.
Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal
balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta
(lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih
sayang.
Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah
engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain
berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula
menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan
kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam
hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari-
hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.
TRI KAYA PARISUDHA
Untuk bisa menjalankan dharma diperlukan prilaku dasar
yang disebut: Tri Kaya Parisuda artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus
disucikan. Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang
merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap
individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya, meliputi:
- Berpikir yang benar (Manacika) - Satya Hrdaya - satunya
pikiran
- Berkata yang benar (Wacika) - Satya Wacana - satunya
tutur
- Berbuat yang benar (Kayika) - Satya Laksana - satunya
laku
Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya
bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha
berarti "upaya penyucian".Jadi "Trikaya-Parisudha berarti
"upaya pembersihan/penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku kita".
Tri Kaya Parisudha yang menjadi konsentrasi pembahasan
kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha
karma). Secara hirarki bermula dan pikiran yang baik dan benarlah
akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi
kuncinya
adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “dan telaga yang
jernihlah
mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi
memikirkan yang
macam-macam dan bukan-bukan niscaya perkataan dan perbuatannyapun akan
amburadul
yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.
CATUR PARAMITA
Pada hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan
menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula.
Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan dalam Catur
Paramita, diantaranya:
- Maitri yaitu sifat suka menolong orang lain yang dalam
kesusahan dengan ikhlas
- Karuna yaitu sifat kasih sayang dan cinta kepada sesama
tanpa meminta balasan
- Mudita yaitu sifat simpatik dan ramah tamah menghormati
oang lain dengan tulus
- Upeksa yaitu sifat mawas diri, tepa sarira, bisa
menempatkan diri, rendah hati
PANCA YAMA BRATA
adalah lima jenis pengekangan diri
berdasarkan atas upaya menjauhi larangan agama sebagai norma kehidupan sebagai
berikut:
- Ahimsa yaitu Kasih kepada makhluk lain, tidak membunuh
atau menganiaya
- Brahmacari yaitu Berguru dengan sungguh- sungguh, tidak
melakukan hubungan kelamin (sanggama) selama menuntut ilmu.
- Satya yaitu Setia, pantang ingkar kepada janji
- Awyawaharika yaitu Cinta kedamaian, tidak suka bertengkar
dan mengumbar bicara yang tidak bermanfaat
- Astenya yaitu Jujur, pantang melakukan pencurian
PANCA NIYAMA BRATA
adalah lima jenis pengekangan diri berdasarkan atau tunduk
(mengikuti) peraturan Dharma yang telah ditentukan, sebagai berikut:
- Akrodha yaitu Tidak dikuasai oleh nafsu kemarahan.
- Guru Susrusa yaitu Hormat dan taat kepada guru serta
patuh pada ajaran- ajarannya.
- Sauca yaitu Senantiasa menyucikan diri lahir batin.
- Aharalagawa yaitu Pengaturan makan (makanan bergizi) dan tidak
hidup berfoya- foya/ boros.
- Apramada yaitu Tidak menyombongkan diri dan takabur.
TRI MALA
merupakan tiga jenis kekotoran dan kebatilan jiwa
manusia akibat pengaruh negatif dan nafsu yang sering tidak dapat terkendalikan
dan sangat bertentangan dengan etika kesusilaan. Trimala patut diwaspadai dan
diredam, karena ia akan menghancurkan hidup, meliputi:
- Mithya hrdya yaitu berperasaan dan berpikiran buruk
- Mithya wacana yaitu berkata sombong, angkuh, tidak
menepati janji
- Mithya laksana yaitu berbuat yang curang / culas / licik
(merugikan orang lain)
Apabila Trimala telah menguasai seluruh hidup manusia
timbullah kegelapan (Awidya) mengakibatkan ia tidak mampu lagi melakukan
pertimbangan budi, kegelapan yang mempengaruhi pandangan hidupnya.
SAD RIPU
adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang
mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Apabila tidak mampu menguasainya akan
membawa bencana dan kehancuran total kehidupan manusia. Karena itu Sad Ripu
patut dikendalikan dengan budi susila. Sad Ripu terdiri dari:
- Kama yaitu hawa nafsu yang tidak terkendalikan
- Lobha yaitu kelobaan (ketamakan), ingin selalu
mendapatkan yang lebih.
- Krodha yaitu kemarahan yang melampaui batas (tidak
terkendalikan).
- Mada yaitu kemabukan yang membawa kegelapan pikiran.
- Moha yaitu kebingungan/ kurang mampu berkonsentrasi
sehingga akibatnya individu tidak dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna.
- Matsarya yaitu iri hati/ dengki yang menyebabkan
permusuhan.
CATUR ASRAMA
Hubungan tata kemasyarakatan Hindu dibagi menjadi empat
tingkat kehidupan yang dikenal dengan Catur Asrama. Catur Asrama adalah empat
lapangan atau tingkatan hidup manusia atas dasar keharmonisan hidup. Tiap- tiap
tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh adanya ciri- ciri tugas kewajiban yang
berbeda antara satu masa (asrama) dengan masa lainnya, tetapi merupakan
kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebagai contoh adanya perbedaan sifat tugas
dan kewajiban seorang bapak dengan ibu dengan anak- anaknya.
Menurut agama Hindu pembagian tingkat kehidupan manusia sesuai dengan sistem
Catur Asrama, ialah sebagai berikut:
- Brahmacari Asrama Adalah tingkat masa menuntut ilmu/masa
mencari ilmu. Masa Brahmacari diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan
pengakuan dan pemberian Samawartana (Ijazah).
- Grhasta Asrama Adalah tingkat kehidupan berumahtangga.
Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari
Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut
Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama
dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan
yadnya dan kehidupan sosial lainnya).
- Wanaprastha Asrama Merupakan tingkat kehidupan ketiga.
Dimana berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu keduniawian. Pada masa ini
hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban
kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup
yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/moksa dipraktekkannya
dalam kehidupan sehari- hari.
- Sanyasin Asrama (bhiksuka) Merupakan tingkat terakhir
dari catur asrama, di mana pengaruh dunia sama sekali lepas. Mengabdikan diri
pada nilai-nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada
tingkatan ini, ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke
tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang
Pencipta untuk mencapai Moksa
CATUR PURUSA ARTHA
Agama Hindu memberikan tempat yang utama terhadap ajaran
tentang dasar dan tujuan hidup manusia. Dalam ajaran Agama Hindu ada suatu
sloka yang berbunyi: "Moksartham Jagadhita ya ca iti dharmah", yang
berarti bahwa tujuan beragama adalah untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan
ketentraman batin (kedamaian abadi). Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan
dalam konsepsi Catur Purusa Artha atau Catur Warga yang berarti empat dasar dan
tujuan hidup manusia, yang terdiri dari:
- Dharma Merupakan kebenaran absolut yang mengarahkan
manusia untuk berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi
dasar hidup. Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia.
Keutamaan dharma sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan,
memberikan keteguhan budi, dan menjadi dasar dan jiwa dari segala usaha tingkah
laku manusia. kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk
mencapai kebahagiaan dan keselamatan.
- Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi
atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Adalah kekayaan dalam bentuk materi/
benda- benda duniawi yang merupakan penunjang hidup manusia. Pengadaan dan
pemilikan harta benda sangat mutlak adanya, tetapi yang perlu diingat agar kita
jangan sampai diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat mengaburkan
wiweka (pertimbangan rasional) tidak mampu membedakan salah ataupun benar.
Nafsu keserakahan materi melumpuhkan sendi- sendi kehidupan beragama,
menghilangkan kewibawaan. Bahwa artha merupakan unsur sosial ekonomi bersifat
tidak kekal berfungsi selaku penunjang hidup dan bukan tujuan hidup. Artha
perlu diamalkan (dana punia) bagi kepentingan kemanusiaan (fakir miskin, cacat,
yatim piatu, dan lain- lain)
- Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti
kesenangan. merupakan keinginan untuk memperoleh kenikmatan (wisaya). Kama
berfungsi sebagai penunjang hidup yang bersifat tidak kekal. Manusia dalam
hidup memiliki kecenderungan untuk memuaskan nafsu, tetapi sebagai makhluk
berbudi ia mampu menilai perilaku mana yang baik dan benar untuk diterapkan.
Dengan ungkapan lain bahwa perilaku yang baik dimaksudkan adalah selarasnya
kebutuhan manusia dengan norma kebenaran yang berlaku.
- Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi, pelepasan
kebebasan atau kemerdekaan (kadyatmikan atau Nirwana) manunggalnya hidup dengan
Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai tujuan utama, tertinggi, dan terakhir,
bebasnya Atman dan pengaruh maya serta ikatan subha asubha karma (suka tan
pawali duka).
CATUR WARNA
Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang
terdiri dari kata ''Catur" berarti empat dan kata "warna" yang
berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti
empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat
(guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki
sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya
dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat
golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah:
- Warna Brahmana adalah golongan fungsional di dalam
masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya
di bidang kerohanian keagamaan.
- Warna Ksatrya adalah golongan fungsional di dalam
masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya
di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
- Warna Wesya adalah golongan fungsional di dalam
masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang
kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
- Warna Sudra adalah golongan fungsional di dalam
masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang
ketenagakerjaan
Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke
masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem
yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah (Wangsa di Bali).
Pada hal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan
Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.
CATUR GURU
Untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan
dalam masyarakat Hindu tidak terlepas dari disiplin dalam setiap tingkah laku
kita sehari- hari lebih- lebih terhadap catur kang Sinangguh Guru. Kata Guru
dalam bahasa Sanskerta berarti berat. Dalam Agama Hindu ada 4 yang dianggap
guru adalah:
- Guru Swadyaya. Tuhan
yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai guru sejati maha guru alam semesta atau
Sang Hyang Paramesti guru. Agama dan ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya
adalah bersumber dari beliau. SARWAM IDAM KHALUBRAHMAN (segala yang ada tidak
lain dari Brahman). Demikian disebutkan dalam kitab Upanishad
- Guru Wisesa. Wisesa dalam bahasa Sanskerta berarti purusa/
Sangkapurusan yaitu pihak penguasa yang dimaksud adalah Pemerintah. Pemerintah
adalah guru dan masyarakat umum yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan
Bangsa dan memberikan kesejahteraan material dan spiritual.
- Guru Pengajian / Guru Parampara. Guru di sekolah yang telah
benar- benar sepenuh hati dan ikhlas mengabdikan diri untuk mendidik serta
mencerdaskan kehidupan Bangsa.
- Guru Rupaka Orang yang melahirkan (orang tua), tanpa
orang tua kita tak akan ada oleh karena itu betapa besarnya jasa- jasa orang
tua dalam membimbing putra- putranya untuk melahirkan putra yang baik
(suputra).
UPACARA – YADNYA
Yadnya adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan
ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam kehidupan ini berdasarkan dharma,
sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya dapat pula diartikan
memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian,
dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki
demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Sang
Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:
- Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
- Rasa bakti dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi
Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan kemanusiaan.
- Di dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan
masing- masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra).
- Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu
pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.
Konsep keseimbangan
TRI HITA KARANA
Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal
11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan
Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar.
Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya
untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini
berkembang, meluas, dan memasyarakat.
Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab
kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada
hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan
itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
- Manusia dengan Tuhannya (Parhyangan)
- Manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan)
- Manusia dengan sesamanya (Pawongan)
Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi:
- Sanghyang Jagatkarana. (tuhan)
- Bhuana (alam dan lingkungan)
- Manusia
Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab
suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:
Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena
prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah kamadhuk
Artinya :
Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan
yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi
kamadhuk dari keinginanmu.
Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut ada nampak tiga unsur
yang saling beryadnya untuk mendapatkan yaitu terdiri dari:
- Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa
- Praja = Manusia
Penerapan Tri Hita Karana.
Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu
sebagai berikut
- Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan
dengan Dewa yadnya.
- Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang
diwujudkan dengan Bhuta yadnya.
- Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan
dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.
Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di
Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:
- Parhyangan. yaitu: Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan
Jagat,Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan
Tiga,Di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah.
- Pelemahan yaitu Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi
Bali, Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale
agung, Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan.
- Pawongan yaitu Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di
Bali, Untuk di desa adat meliputi krama desa adat, Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga
Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif
dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan
manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan
sesamanya
Konsep toleransi dan ketuhanan
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama
yang paling toleran, yang mana di dalam kitabWeda dalam salah satu baitnya
memuat kalimat berikut:
Tat Twam Asi – (Candayoga Upanisad)
ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk
adalah sama
Ekam eva advityam Brahma - (Ch.U.IV.2.1)
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.
Eko Narayanad na dvityo Sti kaccit - (Weda Sanggraha)
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
Bhineka Tungal Ika, tan hana Darma mangrwa - (Lontar
Sutasoma)
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.
Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti —Rg Weda (Buku I, Gita
CLXIV, Bait 46)
Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai
menyebut-Nya dengan banyak nama.
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham, mama
vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah - (Bhagavad Gītā, 4.11)
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku
memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku, dengan berbagai jalan,
wahai putera Partha (Arjuna)
Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati,
tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham - (Bhagavad Gītā, 7.21)
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang, Aku
perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih
mantap
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām eva kaunteya
yajanty avidhi-pūrvakam - (Bhagavad Gītā, IX.23)
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh
keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya,
dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang
membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang tunggal
(Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil
Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Shiwa sebagai pemralina.
Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia Maha Tahu, berada di mana-mana. Karena
itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang
menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah
orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar dia menemukan
jalan terang dalam mengarungi hidup ini.